Persebaya didirikan pada 18 Juni 1927 dengan nama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond [SIVB]. Tim kota Pahlawan ini juga turut berperan dalam pendirian PSSI. Pada tahun 1943 SIVB berganti nama menjadi Persibaja (Persatuan Sepakbola Indonesia Soerabaja).

Tahun 1960, nama Persibaja diubah menjadi Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya) dan menjadi salah satu raksasa bersama Persib dan Persija. Prestasi gemilang terus terjaga ketika PSSI menyatukan klub Perserikatan dan Galatama dalam kompetisi bertajuk Liga Indonesia sejak 1994.

Selain ulah suporternya, Persebaya juga selalu diwarnai kontroversi. Saat menjuarai kompetisi Perserikatan pada tahun 1988, Persebaya pernah memainkan pertandingan yang terkenal dengan istilah ’sepakbola gajah’, karena mengalah kepada Persipura Jayapura 12-0 untuk menyingkirkan saingan mereka PSIS Semarang. Taktik ini membawa hasil, dan Persebaya berhasil menjadi juara.

Pada Liga Indonesia 2002, Persebaya melakukan aksi mogok tanding saat menghadapi PKT Bontang dan diskors pengurangan nilai. Kejadian tersebut menjadi salah satu penyebab terdegradasinya Persebaya ke divisi I.

Tiga tahun kemudian atau tahun 2005, Persebaya menggemparkan publik sepak bola nasional saat mengundurkan diri pada babak delapan besar sehingga memupuskan harapan PSIS dan PSM untuk lolos ke final.Atas kejadian tersebut Persebaya diskors 16 bulan tidak boleh mengikuti kompetisi Liga Indonesia. Namun, skorsing direvisi menjadi hukuman degradasi ke Divisi I Liga Indonesia.

Yang menarik dari Persebaya adalah adanya semangat multikultural. Sepakbola memang pengusung jiwa multikultural. Ini bisa dilihat dari beragamanya ras dan etnis pemain di sepanjang sejarah Persebaya. Ketika pada 2004 Persebaya meraih juara Liga, pelatihnya Jacksen F. Tiago berasal dari Brasil. Pada tahun lalu, penjaga gawangnya Zheng Ceng berasal dari Tiongkok. Ceng pernah disambut Pak Dahlan yang pernah memimpin Persebaya selama 2002-2003di Graha Pena. Kehadiran Ceng mampu mengundang minat para penonton yang beretnis Tionghoa.

Sebenarnya berbicara tentang peran pemain Tionghoa dalam tubuh Persebaya hal ini juga pernah terjadi pada era Zaman Jepang dan awal Kemerdekaan. Klub Suryanaga adalah pemasoknya. Tapi tanpa menonjolkan etnis tertentu, berkat perpaduan berbgai etnis Persebaya menjadi pengusung semangat multikultural yang “vokal”.

Bahkan sekarang,  Persebaya tidak kehilangan jiwa multikulturalnya. Persebaya memang menjadi semacam perekat yang paling memungkinkan untuk mewujudkan nilai-nilai mulia multikultural di metropolis yang majemuk ini. Tapi harus diakui, nilai-nilai mulia seperti itu juga rentan dibajak oleh semangat yang tidak sportif, seperti kerusuhan dan fanatisme membabi buta yang ujung-ujungnya adalah anarkisme.



SALAM SATU NYALI.......................

UNTUK PARA BONEK SE-DUNIA....
AYO SEMANGAT REK DUKUNG PERSEBAYA
APAPUN  DAN BAGAIMANAPUN KEADAAN PERSEBAYA SEKARANG 
KITA HARUS TETAP
SAMPEK ELEK SAMPEK TUEK MENDUKUNG PERSEBAYA
BERSIKAP DEWASA... LEGOWO... DAN ANTI ANARKIS....
JANGAN SAMPAI TERPROVOKASI OLEH TINDAKAN YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB YANG AKAN MENCEMARKAN NAMA BAIK BONEK, PERSEBAYA DAN KOTA TERCINTA SURABAYA